Sabtu, 25 Juli 2009

Latih Kemandirian Anak dengan Uang Saku


Anak yang baru mulai masuk di kelas 1 SD biasanya masih terbawa kebiasaan sewaktu di TK. Misalnya dalam hal bekal makanan dan minuman masih dibawakan ibunya dari rumah sehingga ibu belum merasa perlu memberinya uang saku. Namun, setelah satu hingga dua bulan di SD dan seiring dengan pergaulan sosial bersama teman-teman barunya, anak pun terpengaruh. Apalagi saat melihat teman-temannya jajan di sekolah dengan uang saku mereka. Jangan heran ketika anak mulai protes 'Ih Mama, apaan sih bawa-bawa makanan dari rumah. Aku kan malu, kayak anak TK aja.' Konsekuensinya, mau tidak mau orang tua pun memberinya uang saku. Sebenarnya tidak ada konsep yang baku tentang waktu dan aturan pemberian uang saku.

Namun, menurut psikolog Anna Surti Ariani Psi, sebelum diberi kepercayaan untuk memegang uang sendiri, ada baiknya anak mengerti dulu tentang nilai uang. "Soal umur sebenarnya tidak ada patokan, mulai SD kelas satu atau dua juga bisa mulai diberikan uang saku, asalkan dia sudah bisa berhitung dan mengerti nilai uang," kata psikolog yang akrab disapa Nina.

Pengenalan nilai uang itu sendiri bisa dilakukan sejak usia prasekolah (2-3 tahun) dengan cara yang sederhana, fun, dan mudah dipahami anak. Nina mencontohkan penerapannya saat mengajari putrinya, Stella Arianata Gati, 4, yaitu melalui kertas yang dipotong- potong dan diberi tulisan nominal uang yang berbeda-beda.

"Dengan 'uang kertas' itu dia bermain pasar-pasaran. Dengan begitu, dia mengerti bahwa setiap barang itu dibeli dengan nilai yang berbeda-beda. Jadi lebih pada konsep barter, menukar uang dengan barang," ujarnya.

Selanjutnya, anak perlahan-lahan bisa mulai dikenalkan dengan uang yang sesungguhnya. Masih dengan cara yang sederhana dulu, seperti memintanya membeli sesuatu yang ringan-ringan saja di warung terdekat dengan rumah. "Bekali dengan uang secukupnya, kemudian nanti tanyakan harganya berapa dan uang kembaliannya berapa," tuturnya.

Untuk permulaan, anak bisa diberikan uang saku dengan sistem harian. Dengan uang sakunya, anak bisa belajar mengelola keuangan.

"Ini juga berkaitan dengan kecerdasan finansial, di mana dia harus bisa memperkirakan 'Dengan uang segini aku mau beli apa saja ya? Kalau aku ingin beli ini cukup enggak ya?'. Jadi anak juga belajar menahan diri kalau memang uangnya tidak cukup," kata Nina seraya menambahkan bahwa kontrol orang tua juga penting, terutama dalam hal memberi contoh untuk berhemat.

Mengenai nominal uang saku yang diberikan, hendaknya orang tua cermat dalam menilai kebutuhan anaknya saat di sekolah. Jangan sampai berlebihan karena bisa membuat anak boros dan jajan sesukanya, tapi juga jangan terlalu sedikit karena bisa jadi ada keperluan mendadak. Akan tetapi, setiap orang tua pasti punya pertimbangan masing-masing soal aturan pemberian uang saku.

Sherishada Manaf dari Jakarta International Montessori School sekaligus ibu tiga putraputri ini misalnya, mengungkapkan bahwa sejak kecil ketiga anaknya dididik untuk bertanggung jawab dan menghargai uang. "Saya tidak membiasakan mereka untuk selalu meminta. Jadi kalau mereka mau dapat uang saku, ya harus bekerja dan melakukan tanggung jawabnya dulu, misalkan membersihkan kebun dan memandikan binatang peliharaan," ujarnya.

Sejak anak usia 10 tahun, wanita yang biasa dipanggil Sheri ini sudah membiasakan untuk berdiskusi soal keuangan keluarga dengan anak-anaknya yang kini beranjak remaja dan dewasa. "Diskusi itu pasti, kan mereka juga harus tahu berapa biaya sekolah. Minggu ini mau pergi ke mana. Mau beli barang apa saja dan harganya berapa. Tapi kita tidak perlu sampai detail ngasih tau jumlah uang yang ada supaya mereka bisa kontrol diri," tuturnya.

Keterbukaan dalam keluarga menjadi kunci agar bisa lebih memahami dinamika diskusi dan perilaku keuangan antara orang tua dan anaknya. Banyak orang tua yang enggan membicarakan kondisi keuangan keluarga dengan anak-anaknya.

Disalin Dari " "
seruu.com

0 komentar: